Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Latar Belakang Munculnya Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003


BAB II
MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG   UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NO.20 TAHUN 2003

A.    Latar Belakang Munculnya Undang-Undang Sisdiknas
Nomor 20 Tahun 2003
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 lahir melalui perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut mewarnai proses lahirnya Undang-Undang ini. Singkat kata, Undang-Undang ini menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis. Kritik tajam terhadap Undang-Undang ini (saat itu masih RUU) dapat dicatat antara lain berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan beragama dan mengabaikan tujuan pendidikan nasional yang universal dan komprehensif; bersifat diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain di luar lima agama yang selama ini diakui resmi oleh negara; visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak mendorong semangat pluralisme, serta memberi peluang intervensi berlebihan negara pada pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembaga-lembaga pendidikan; campur-tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama; dan kentalnya nuansa politik yang mebidani lahirnya Undang-Undang tersebut.[1]Demikianlah kritik yang mengemuka dari kelompok yang menolak Undang-Undang teresebut.
Sementara pada sisi lain, Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai jawaban legal formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam tubuh bangsa Indonesia. Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2003, Megawati Sukarno Putri, Presien RI saat itu misalnya menegaskan, kegagalan dan kekurangberhasilan yang terjadi selama ini merupakan cerminan dari kegagalan dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa yang sedang membangun. Semua itu bagaikan bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia di nilai sebagai negara yang paling ketinggalan (least well-educated country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out put, maupun manjerial. Dalam konteks reformasi pendidikan inilah sesungguhnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 ini lahir.[2]
Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu. Sedikitnya isu-isu sentral reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu 1) pendidikan agama sebagai basis pendidikan nasiona, 2) pemerataan kesempatan pendidikan, 3) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan 4) efisiensi menajemen pendidikan[3]. Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun menjelang disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU Sisdiknas sebelumnya �seperti ramai diberitakan oleh media massa - seluruh persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik pasal-pasal �yang berpihak� terhadap pendidikan agama. Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen agama.[4]Dapat dikatakan, bahwa pasal-pasal yang beraroma agama dan bersentuhan dengan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan menjadi pusaran konflik yang mengundang debat sengit, unjuk rasa, sampai pada ancaman memisahkan diri dari NKRI.
Hal penting yang dapat disimpulkan dari pelacakan jejak kontroversi seputar Undang-Undang Sisdiknas di atas adalah pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, terutama Islam- telah menjadi konteks tersendiri yang memotivasi, mewarnai dan memperkaya Undang-Undang Sisdiknas, sekaligus menjadikan Undang-Undang ini dianggap kontroversial. Dari konteks ini lah penulis melihat kajian terhadap posisi pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dalam UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989 memiliki urgensi dan signifikansi yang besar.
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.[5]
Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional �jilid dua� yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang-Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan.[6]
B.    Isi Ringkas Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
 Undang-Undang (atau disingkat UU) adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.[7]Dalam kamus bahasa Indonesia, Undang-undang diartikan sebagai ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), disahkan oleh parlemen (DPR, badan legislatif, dsb), ditandatangani oleh kepala negara (presiden, kepala pemerintahan, raja) dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Dapat juga diartikan sebagai aturan-aturan yang dibuat oleh orang atau badan yang berkuasa.[8]Berangkat dari pengertian diatas maka yang dimaksud dengan Undangundang Sisdiknas adalah ketentuan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berkenaan dengan pengelolaan sistem pendidikan nasional.
Adapun tujuan dirumuskannya Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 ini tercantum dalam penjelasan atas Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yaitu;
a).   Bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
b).   Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;
c).   Bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;
d).   Bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e).   Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional[9].
Diterbitkannya Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 adalah sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas nomor 2 tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain, 1). Demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, 2). Peran serta masyarakat, 3). Tantangan globalisasi, 4). Kesetaraan dan keseimbangan, 5). Jalur pendidikan, dan 5). Peserta didik.[10]
Tujuan dirumuskannya Undang-undang Sisdiknas 20 Tahun 2003 adalah juga untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan, diantaranya adalah pembaharuan kurikulum, penyusunan standart kualifikasi pendidik yang sesuai dengan pelaksanaan tugas secara profesional, penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip pemerataan dan keadilan, pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi, penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multi makna.[11]
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah produk kebijakan tersebut yang sensitif dengan isu-isu sikap agama. Karenanya, semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur Pendidikan Nasional, isu pendidikan agama sebagai refleksi sikap pemerintah terhadap agama menjadi diskusi dan perdebatan yang terus belanjut sampai lahirnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 dan untuk saat ini berakhir dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
C.    Kelebihan dan Kekurangan Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dengan Undang-Undang Sebelumnya

1.     Kelebihan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dengan Undang-undang Sebelumnya
Setidaknya ada dua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki Indonesia yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama UUSPN. Dan yang kedua Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS, sebelum adanya kedua Undang-undang yang mengatur tentang system pendidikan nasional, Indonesia hanya memiliki Undang-undang tentang pokok-pokok pengajaran dan pendidikan yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950.[12]
Adanya perubahan UUSPN No.2 tahun 1989 menjadai UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dimaksudkan agar system pendidikan nasional kita bisa menjadi jauh lebih baik dibanding dengan system pendidikan sebelumnya. Hal ini seperti yang dikemukan oleh seorang pengamat hukum dan pendidikan, Frans Hendrawinata beliau mengatakan bahwa dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru, maka diharapkan undang-undang tersebut dapat menjadi pedoman bagi kita untuk memiliki suatu sistem pendidikan nasional yang mantap, yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang berkualitas. Apalagi mengingat semakin dekatnya era keterbukaan pasar. Hal tersebut sesungguhnya harus menjadi kekhawatiran bagi kita semua mengingat kualitas sumber daya manusia di Indonesia berada di bawah negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga di Asean. Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia internasional khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini.[13]
Saat kedua undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU Sisdiknas  Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan Ahlaq dan budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral. Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, �Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan�. Padahal dalam Undang-Undang sebelumnya yaitu Dalam pasal 20 Undang-Undang No 4/1950 dinyatakan, 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Di sisi lain RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan Islam dimana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-madrash mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN tersebut madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak tujuh mata pelajaran. Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang kurangnya sama dengan �SD/SMP�. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islamnya)[14]
Sementara saat akan diundangkannya RUU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 terjadi juga kontroversi dimana RUU ini dianggap oleh  Kelompok tertentu sebagai RUU yang  sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi: �Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama�[15].
Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan. Mereka yang menentang umumnya datang dari kalangan lembaga-lembaga pendidikan swasta non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara pendidikan Islam. Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya.
Pasal ini sangat adil. Sebab, sekolah-sekolah non-Islam dan Islam dikenai kewajiban yang sama. Sekolah-sekolah Islam menyediakan guru agama dari non-Islam, sebaliknya sekolah-sekolah non-Islam menyediakan guru-guru agama Islam. Hanya realitasnya adalah banyaknya anak-anak dari keluarga Islam yang bersekolah di sekolah non-Islam. Sementara itu anak-anak dari keluarga non-Islam sedikit sekali untuk tidak menyatakan tidak ada yang bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang berwatak Islam. Konsekuensinya, beban anggaran sekolah-sekolah non-Islam untuk menyediakan guru-guru agama Islam lebih besar daripada anggaran sekolah-sekolah swasta Islam untuk menggaji guru-guru agama lain. Padahal Undang-Undang itu cukup adil. Masalah itu bisa terjawab manakala pemerintah menyediakan dan menanggung gaji guru-guru agama itu. Atau beban itu diserahkan sepenuhnya ke orang tua anak didik, bukan lembaga pendidikan. Jika ini tidak diatasi, akan menimbulkan bahaya besar. Sekolah-sekolah swasta baik Islam maupun non-Islam karena keterbatasan anggaran lalu membatasi jumlah anak didik yang berbeda agama. Departemen Agama (Depag) sudah mengantisipasi dengan menyediakan tenaga guru-guru agama bila RUU Sisdiknas ini disahkan. Jadi, sebetulnya tidak masalah dan mengkhawatirkan soal tenaga guru untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah-sekolah non-Islam.[16]
Banyak sekali keuntungan yang dirasakan oleh ummat Islam dengan diberlakukannya Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ini, diantaranya :
a).   Tujuan Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk merealisasikan  nilai-nilai Al Quran yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa (pasal 3)
b).   Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari pemurtadan, karena anak-anak tersebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh siswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia (Pasal 12 ayat 1a)
c).   Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam system pendidikan nasional secara penuh (Pasal 17 dan 18)
d).   Pendidikan keagaamaan seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah, karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok masyarakat tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30).
e).   Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (Pasal 37).[17]

2.     Kekurangan Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dengan Undang-undang Sebelumnya
Tanggal 31 Maret 2010 merupakan momen yang penting dalam pendidikan di Negara kita. Pada tanggal itu Mahkamah Konstitusi (MK) mengoreksi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 dan mencabut kembali Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) nomor 9 tahun 2009 yang menuai kontroversi. Keputusan tersebut dikeluarkan MK atas permohonan dalam pengujian perkara yang diajukan berbagai elemen masyarakat peduli pendidikan. Dengan keberanian MK untuk mengeluarkan keputusan tersebut, sejak hari itu Undang-undang Badan Hukum Pendidikan  tidak berlaku. Sejak awal kemunculan Undang-Undang BHP ini merupakan rancangan undang-undang sarat akan kontoversi. Kelemahan Undang-Undang Sisdiknas pasal 53 yang sebelumnya banyak diprotes karena tidak sesuai dengan amanat UUD 1945.[18]
Kalau dilihat lebih jauh, Undang-Undang BHP ini juga mempunyai banyak kelemahan. Pertama,terjadi penyeragaman  lembaga pendidikan, penyeragaman tersebut jelas menyulitkan lembaga-lembaga pendidikan yang beragam di Negara kita, seperti misalnya yayasan atau perkumpulan. Kedua, yaitu pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan. Hal itu terlihat dalam pernyataan bahwa sekolah atau badan hukum pendidikan wajib menyediakan beasiswa untuk peserta didik dari keluarga yang kurang mampu. Jadi, beban itu dilepaskan begitu saja kepada pihak penyelenggara pendidikan. Ketiga, BHP dalam undang-undang itu menjadi nama diri atau menjadi nama lembaga yang melekat pada satuan pendidikan. Itulah yang ditafsirkan MK. Seharusnya badan hukum hanya sekadar fungsi. Sebagai contoh praktek Badan Hukum Milik Negara yang menjadi status bagi beberapa perguruan tinggi negeri.
Dengan dihapuskannya Undang-Undang BHP, bukan berarti bahwa persoalan pendidikan dalam ranah hukum di negara ini selesai. Seluruh elemen masyarakat terutama aktivis mahasiswa, tokoh masyarakat, dan juga kaum intelektual lainnya harus membuat rancangan regulasi undang-undang yang berpihak pada rakyat. Rancangan itu kemudian diusulkan kepada pemerintah untuk dibahas dan disyahkan oleh lembaga legislatif. Jangan telalu berharap pada pemerintah untuk membuat rancangannya. Seperti yang sudah-sudah, tanpa peran serta masyarakat, kebijakan pendidikan sama sekali tidak berpihak kepada rakyat.Setidaknya ada dua cara yang harus dipikirkan. Pertama,menuntut secara hukum kata peran masyarakat dalam Undang-Undang sisdiknas, sehingga pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah. Kedua, kalaupun itu tidak bisa dilakukan, maka kita harus mengusulkan secara konkret aturan tentang peran masyarakat terhadap pendidikan misalnya membuat draft rancangan undang-undang yang bisa mengisi kekosongan setelah UU BHP dibatalkan[19].
D.    Strategi Implementasi Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003                                                      Dalam Dunia Pendidikan
Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merupakan perwujudan dari tekad melakukan reformasi pendidikan yang sekian lama terasa mandeg dan tidak mampu lagi menjawab tuntutan perkembangan masyarakat, bangsa dan negara di era global.
Pendidikan pada umumnya dilaksanakan dalam rangka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi  mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[20]
Dalam ketentuan Undang � Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas lebih banyak mengatur tentang kedudukan, fungsi, jalur, jenjang, jenis dan bentuk kelembagaan Madrasah.
Reformasi pendidikan merupakan sebuah langkah strategis sebagai respons sekaligus penguatan terhadap reformasi politik yang ditempuh pemerintah Indonesia yaitu perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik dengan memberikan otonomi kepada daerah.[21]Otonomi dan desentralisasi kewenangan menuntut dilakukannya berbagai perubahan, penyesuaian, pembudayaan dan pembaruan dalam rangka mewujudkan proses pendidikan yang bermutu, otonom, demokratis, memperhatikan keragaman, serta mampu mendorong partisipasi masyarakat.
 Peningkatan mutu pendidikan sekolah dasar dapat dicapai apabila didukung oleh prasarana dan sarana pendidikan yang memadai. Sampai akhir tahun 2007 kondisi prasarana pendidikan SD/MI menunjukkan bahwa masih terdapat ruang kelas SD/MI/SDLB yang mengalami kerusakan sebesar 203.057 (18,9%) dari 1.073103 ruang kelas yang ada. Sudah menjadi kewajiban seluruh pemangku kepentingan untuk bertindak secara sinergis dalam penuntasan rehabilitasi gedung SD sebagaimana dikehendaki pemerintah bahwa pada tahun 2008 diharapkan tidak ada lagi sekolah yang rusak[22].
Sementara itu terkait dengan sarana pendidikan, PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) menegaskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki perpustakaan dan sarana pendidikan yang memadai meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya untuk menunjang Proses Belajar Mengajar. Lahirnya Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan semakin menguatkan bahwa setiap sekolah/madrasah wajib menyelenggarakan perpustakaan dan memiliki koleksi buku teks pelajaran dan mengembangkan koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan[23].
Setidaknya ada dua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki Indonesia yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama UUSPN. Dan yang kedua Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS,[24]sebelum adanya kedua Undang-undang yang mengatur tentang system pendidikan nasional, Indonesia hanya memiliki Undang-undang tentang pokok-pokok pengajaran dan pendidikan yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950.
Adanya perubahan UUSPN No.2 tahun 1989 menjadai UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 dimaksudkan agar system pendidikan nasional kita bisa menjadi jauh lebih baik dibanding dengan system pendidikan sebelumnya. Hal ini seperti yang dikemukan oleh seorang pengamat hukum dan pendidikan, Frans Hendrawinata beliau mengatakan bahwa dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru, maka diharapkan undang-undang tersebut dapat menjadi pedoman bagi kita untuk memiliki suatu sistem pendidikan nasional yang mantap, yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang berkualitas[25]. Apalagi mengingat semakin dekatnya era keterbukaan pasar. Hal tersebut sesungguhnya harus menjadi kekhawatiran bagi kita semua mengingat kualitas sumber daya manusia di Indonesia berada di bawah negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga di Asean. Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia internasional khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini[26].
Untuk memenuhi tuntutan Undang-Undang dan PP di atas, pada tahun anggaran 2008 pemerintah meningkatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Rp. 5,195 Triliun menjadi Rp. 7,015 Trilyun, yang akan digunakan selain untuk merehabilitasi ruang kelas SD/MI/SDLB dan pembangunan perpustakaan, juga digunakan untuk penyediaan sarana pendidikan yang mampu menunjang peningkatan mutu sekolah di kabupaten/kota penerima DAK di seluruh Indonesia[27]. Berdasarkan PP Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, Menteri Pendidikan Nasional menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan DAK Bidang Pendidikan sebagai acuan pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari DAK bidang pendidikan di kabupaten/kota penerima DAK. Sebagai tindak lanjut petunjuk teknis penggunaan DAK bidang pendidikan, perlu ditetapkan surat edaran tentang tata cara pelaksanaan dana alokasi khusus bidang pendidikan tahun 2008 sebagai standar minimal untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan peningkatan mutu sekolah[28].
Apabila terdapat bahan bangunan, peralatan pendidikan, buku pengayaan, buku referensi, sarana multimedia dan peralatan perpustakaan yang standarnya setara atau lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan standar/spesifikasi teknis minimal yang telah ditentukan dan terjangkau oleh alokasi dana yang tersedia maka dapat digunakan sebagai bahan bangunan, peralatan pendidikan, buku pengayaan, buku referensi, sarana multimedia dan peralatan perpustakaan yang diadakan.





[1]Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2000), hal. 17
[2]Hasbullan, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1999), hal. 33

[3] Ibid, hal. 36
[4]http://lpmpalmuhajirin.blogspot.com/2009/02/pendidikan-islam-dalam-sisdiknas-part.html
[5]Muzayyin.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara. 2003), hal. 29.

[6] Ibid, hal. 30

[7] www.wikipedia.com.
[8]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hlm. 1245.
[9] UU Sisdiknas, ....hal. 1.

[10] UU Sisdiknas, ....hal. 1.

[11] Ibid., hal. 40.

[12] Eko Budi Harsono dalam http://www.suarapembaruan.com/ News/2004 /01/10/ Kesra/ke02.htm
[13]Husni Rahim dalam http://pendis.depag.go.id /madrasah/Insidex. php?i_367=at02100020
[14]Husni Rahim dalam http://pendis.depag.go.id /madrasah/Insidex. php?i_367=at02100020

[15] UU Sisdiknas, ....hal. 7.
[16]Husni Rahim, Pengakuan madrasah sebagai sekolah umum (berciri khas Islam) dalam http://pendis.depag.go.id

[17] Eko Budi Harsono, RUU Sistem Pendidikan Nasional dan Jebakan Isu Agama dalamhttp://www.suarapembaruan.com
[18]http://isolapos.com/2010/04/membuat-uu-pengganti-uu-bhp/.
[19] Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1999), hal. 39.
[20]UU RI No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2003), hal 7.

[21]http://bersamatoba.com/tobasa/serba-serbi/lahirnya-undang-undang-nomor-20-tahun-2003-tentang-sistem-pendidikan-nasional.html.

[22] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Islam diIndonesia,                  (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 31.

[23] M. Ali Hasan dan Mukti Ali. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 2003), hal. 8.

[24] http://mtsrupa.raudlatul-ulum.com/hello-world/.diakses pada tanggal 16 Jan 2011 16:12:36 GMT
[25] Daulay, Pendidikan Islam..., hal. 35.

[26] Ibid., hal. 36.
[27] Mukti Ali. Kapita...., hal. 46.

[28] Ibid., hal. 47.