Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Hukuman Cambuk


BAB DUA
GAMBARAN TENTANG HUKUMAN CAMBUK



A.    Pengertian Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk terdiri atas dua kata yang memiliki perbedaan maknanya. Kata hukuman berasal dari kata hukum yang ditambah imbuhan “an”. Hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat (negara); Undang-Undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; patokah (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan; dan vonis.[1]
Menurut Hassan Shadily hukum diartikan secara bahasa adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu atau tidak menetapkannya (isbathu syai’in ‘ala syai’in aw nafyun ‘anhu), sedangkan menurut istilah hukum adalah efek yang timbul dari perbuatan yang diperintahkan Allah SWT.[2]
Akan tetapi pengertian hukum menurut ushul fiqh adalah khitab atau perintah Allah yang menuntut mukallaf untuk mengerjakan atau memilih antara mengerjakan atau tidak mengerjakan, atau menjadi sesuatu menjadi sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya yang lain.[3]
Namun pada prinsipnya hukum merupakan kenyataan dan pernyataan yang beraneka ragam untuk menjamin adanya penyesuaian, kebebasan dan kehendak seseorang dengan orang lain.[4] Berdasarkan asumsi ini pada dasarnya hukum mengatur hubungan antara manusia di dalam masyarakat berdasarkan prinsipnya yang beraneka ragam pula. Oleh karena itu, setiap di dalam masyarakat wajib taat dan mematuhinya. Tetapi apabila kata hukum berubah menjadi kata hukuman, maka akan mengandung pengertian sanksi yang diberikan kepada seseorang yang telah melaksanakan pelanggaran hukum baik hukum perdata maupun hukum pidana.[5]
Sedangkan cambuk mengandung pengertian bahwa alat pelecut yang berupa jalinan tali dari serat tumbuh-tumbuhan, benang atau kulit yang diikatkan pada sebuah tangkai (dipakai untuk menghalau atau untuk melecut binatang); cemeti yang besar; cambuk.[6]
Apabila kedua kata tersebut digabungkan, maka menjadi kata hukuman cambuk yang mengandung makna bahwa proses pemberian sanksi hukum kepada pelanggar hukum dengan menggunakan cemeti sebagai alat untuk memukul siterhukum agar ia menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memahami bahwa hukuman cambuk adalah hukuman yang diberikan kepada seseorang yang melanggar hukum dengan memukul badannya dengan menggunakan pelecut yang terbuat dari jalinan tali yang diberikan gagangnya.

B.    Dasar Hukum dan Tujuan Hukuman Cambuk
            Yang dimaksud dengan nafkah di sini adalah mencakup kebutuhan isteri berupa makanan, tempat tinggal, pakaian dan obat-obatan, walaupun iteri tersebut orang kaya. Hal ini diwajibkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ ulama.
            Adapun dasar ayat Al-Qur’an termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة ولاتأخذكم بهما رأفة فى د ين الله ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخر وليشهد عذابهما طائفة من المؤمنين (النور: ٢)
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.(an-Nur: 2)

Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa hukum dikhususkan bagi yang melakukan perbuatan zina dengan dicambuk sebanyak seratus kali cambukan bagi yang belum menikah, dan dera sampai mati dengan ditanam persimpangan jalan bagi yang telah menikah.[7] Namun ketentuan cambuk sebanyak 6 sampai 12 dilaksanakan bagi yang melakukan perbuatan khalwat/mesum, karena perbuatan menjurus kepada perbuatan zina.  Al-Qur'an mulia menerangkan bahwa:
ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وسآء سبيلا (الإسرأ: ٣٢)
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isra’: 32)
Sebagai penguat dalil dalam pelaksanaan hukum Islam, maka hadits yang berfungsi sebagai penjelas setiap ayat Al-Qur'an perlu juga digunakan sebagai pedoman. Bahkan dalam hadits Rasulullah saw dengan jelas telah disebutkan bahwa pelaku zina yang belum menikah diharuskan memberikan pukulan sebanyak seratus kali dan dibuang dari tempat asalnya selama setahun. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
عن زيد ابن خالد الجهنى رضي الله عنه قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يأمر فيصن زنى ولم يحصن جلد مائة وتغريب عام (رواه البخارى)[8]
Artinya: Dari  Zaid bin Khalid al-Juhunny ra., ia berkata: “Aku telah mendengar Nabi saw, memerintahkan dalam hal orang yang berzina dan belum pernah nikah, hendaklah dipukul seratus kali dan diasingkan selama setahun”. (H. R. al-Bukhari)
Berdasarkan gambaran hadits di atas, maka dapat dipahami bahwa Rasulullah saw memberikan perintah untuk memukul umatnya yang melakukan perbuatan zina sebanyak seratus kali, yang diikuti dengan pengasingan dari tempat tinggal selama setahun. Namun demikian perbuatan zina tersebut, tentunya diawali dengan pekerjaan mendekati perbuatan zina, seperti melihat, menyentuh dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
عن أبى هريرة رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن الله كتب على ابن آدم حظه من الزنا ادرك ذلك لا محالة فزنا العين النظروزنا اللسان المنطق والنفس تمنى ونشتهي و الفرج يصدق ذلك اويكذبه (رواه البخارى)[9]
Artinya: Dari Abu Hirairah ra, Dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan terhadap anak Adam akan nasibnya dalam berzina, yang senantiasa pasti mengalaminya, zina mata adalah melihat, zina lisan adalah berbicara, zina hati adalah mengharap dan menginginkan, dan hanya kelaminlah yang menentukan berbuat zina atau tidak”.
Hadits di atas menggambarkan bahwa Rasullah saw. menyatakan bahwa Allah swt. telah menentukan nasib anak Adam yang melakukan zina. Tetapi zina tersebut diawali dengan zina mata adalah melihat, zina lisan adalah berbicara, zina hati adalah mengharap dan menginginkan, walaupun pada akhirnya kelamin yang menentukan berbuat zina atau tidak.
Berdasarkan keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, maka dalam penentuan hukum bagi orang yang melakukan perbuatan khalwat/mesum perlu digunakan hadits yang merupakan sumber hukum Islam yang kedua. Apalagi dalam hadits-hadits Rasulullah saw dengan sangat jelas dibicarakan bentuk dan jumlah sanksi hukum yang wajib dijalani oleh sipelaku zina atau yang sejenis dengan perbuatan zina tersebut.
Adapun tujuan dilaksanakan hukuman cambuk adalah sebagai berikut:

C.    Proses Pelaksanaan Hukuman Cambuk
Sehubungan dengan diberlakukannya Syari’at Islam di Provinsi NAD, maka berubahlah sebahagian ketentuan hukum yang berlaku di Aceh termasuk tentang maisir (perjudian). Dengan demikian proses hukum yang berlaku di Aceh terhadap tindak pidana maisir berdasarkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir (perjudian). Oleh karena itu proses dan tata cara pada tingkat penyidikan dan persidangan berbeda sebagaimana diatur dalam KUHAP. Misalnya di dalam qanun penahanan tersangka pada saat dalam proses penyidikan tidak diatur secara tegas. Begitu juga tentang adanya seorang pembela atau pengacara juga tidak diatur secara tegas.
Jaksa menghadirkan terhukum ke tempat pelaksanaan pencambukan dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada keluarganya. Pemberitahuan tersebut disampaikan secara tertulis, selambat-lambatnya tiga harisebelum hari pencambukan.
   Pencambuk hadir di tempat pencambukan dengan memakai penutup wajah yang terbuat dari kain. Pada saat pencambukan, terhukum:
Menggunakan baju tipis yang menutup aurat yang telah disediakan.
a)     Berada dalam posisi berdiri tanpa penyangga bagi terhukum laki-laki dan dalam posisi duduk bagi terhukum perempuan.
Setiap terhukum dicambuk oleh seorang pencambuk. Apabila pencambuk tidak sanggup menyelesaikan pekerjaannya, maka pencambukan akan dilanjutkan oleh pencambuk lainnya. Penggantian pencambukan diputuskan oleh jaksa.
Pencambukan akan dihentikan sementara, apabila:
a)     Terhukum terluka akibat pencambukan
b)    Diperintahkan oleh dokter yang bertugas berdasarkan pertimbangan medis.
c)     Terhukum melarikan diri dari tempat pencambukan sebelum hukuman cambuk selesai dilaksanakan.
Dalam hal pencambukan ditunda atau dihentikan sementara, maka terhukum dikembalikan kepada keluarganya. Terhukum atau keluarganya melaporkan keadaan kesehatan terhukum kepada jaksa secara berkala. Apabila dalam waktu satu bulan terhukum atau keluarganya tidak menyampaikan laporan, maka jaksa dapat meminta kepolisian setempat untuk menghadirkan terhukum di hadapan jaksa.
Kelanjutan pencambukan yang dihentikan sementara akan dilanjutkan setelah bersangkutan dinyatakan sehat oleh dokter untuk menjalani uqubat cambuk. Kelanjutan pencambukan yang dihentikan sementara akan dilanjutkan setelah terhukum ditangkap dan diserahkan kepada jaksa.
Setelah pelaksanaan pencambukan :
a)     Jaksa membuat dan menandatangi berita acara pelaksanaan pencambukan.
b)    Dokter ikut menandatangani berita acara pelaksanaan pencambukan sebagai saksi.
c)     Jaksa membawa terhukum ke ruangan yang telah disediakan untuk seterusnya dibebaskan dan/atau dikembalikan kepada keluarganya.
Dalam hal pencambukan belum dapat dilaksanakan secara sempurna, maka alasan penundaan atau penghentian sementara harus ditulis di dalam berita acara. Satu lembar salinan berita acara diserahkan kepada terhukum atau keluarganya sebagai bukti bahwa terhukum telah menjalani seluruh atau sebagian hukuman.
Selain itu, atas permintaan jaksa, pengawalan terhukum dan pengamanan pelaksanaan uqubat cambuk dilakukan oleh kepolisian resort kabupaten/kota, dan masing-masing instansi teknis.[10]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat digambarkan bahwa pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut ketentuan hukum syari’at Islam, sebab bila hal tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, maka akan berujung pada ketidakadilan dalam menerima hukuman cambuk.

D.    Aspek-Aspek Pelaksanaan Hukuman Cambuk


E.    Pengaruh Hukuman Cambuk Terhadap Pelaksanaan Syari'at Islam





[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 314

[2]Hassan Shadily, Ensiklopedi Islam, Jil. VI, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1983, hlm. 129
[3]Ikhsan Yasin, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, hlm. 5

[4]Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 167

[5]R. Soesilo, KUHP dan Penjelasannya, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 36

[6]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Op. cit, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 147
[7]Abu Qasem, al-Bajuri, Jil. II, Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra, t.t., hlm 293
[8]Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t., hlm. 117
[9]Imam Muslim, Op. cit., hlm. 118
[10] Serambi Indonesia, Qanun-Qanun Bermuatan Uqubat Cambuk, Jum’at 24 Juni 2005, hlm. 02